BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Derajat kesehatan
antara lain dapat diamati dari beberapa indikator seperti angka harapan hidup
(AHH), angka kematian bayi (AKB), angka kematian balita (AKABA) dan angka
kematian ibu (AKI) waktu melahirkan. Berdasarkan data survai terakhir yang
tersedia, AHH waktu lahir penduduk Indonesia tercatat 65,5 tahun (Inkesra,
1999). Rendahnya AHH tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya AKB, yaitu
sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup (Inkesra, 1999), dan AKABA tercatat 63 per
1000 kelahiran hidup (Susenas, 1999). Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) masih
memprihatinkan, yaitu 373 per 100.000 kelahiran hidup (SKRT, 1995).
Status gizi
masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat masalah gizi utama, yaitu:
kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium
(GAKY), dan kurang vitamin A (KVA). Kelompok umur yang paling rawan menderita
gizi kurang adalah 6 - 23 bulan.
Kemiskinan
merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya berbagai masalah kesejahteraan
sosial yang tercermin dalam bentuk ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar,
keterlantaran, kecacatan dan ketunasosialan. Jumlah penduduk miskin termasuk
yang sangat miskin pada tahun 1999 tercatat sebanyak 37,5 juta jiwa atau 18,17
persen dari jumlah penduduk Indonesia. Masalah lain yang terkait dengan
kemiskinan adalah keterpencilan dan keterasingan secara geografis dan sosial
budaya, yang dialami oleh sekitar 1,1 juta penduduk Komunitas Adat Terpencil
(KAT). KAT tersebut dikhawatirkan akan semakin tertinggal sebagai akibat
perubahan sosial yang terjadi di luar komunitasnya. Masalah kesejahteraan
sosial lainnya yang menonjol adalah keterlantaran dan kecacatan. Berdasarkan
hasil Susenas 2000, jumlah anak terlantar dilaporkan sekitar 3,2 juta, sedangkan
jumlah lanjut usia terlantar tercatat sekitar 3,3 juta jiwa. Susenas tahun 2000
juga memperlihatkan bahwa masih terdapat sekitar 1,5 juta penduduk Indonesia
yang mengalami kecacatan.
Masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba juga
menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Selain mencakup masalah medis,
penderita HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba seringkali mengalami perlakuan
diskriminatif dari keluarga maupun lingkungannya. Pelayanan sosial dalam bentuk
perlindungan khusus bagi mereka agar tetap dapat memperoleh hak dan
melaksanakan kewajibannya sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat
sesuai harkat dan martabatnya juga belum sepenuhnya tersedia.
Sementara
itu, aspek kesehatan reproduksi remaja yang merupakan salah satu tiang dalam
pewujudan keluarga kecil yang berkualitas juga masih tertinggal. Survai
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan meskipun median usia
kawin pertama secara nasional adalah 18,6 tahun, median usia kawin pertama di
perdesaan masih relatif muda yaitu 17,9 tahun. Sebagian masyarakat dan keluarga
termasuk orang tua dan remaja sendiri juga belum sepenuhnya mempersiapkan
anggota keluarga yang berusia remaja dalam kehidupan berkeluarga dan perilaku
reproduksi yang bertanggung jawab. Banyak remaja yang masih kurang memahami
atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang masalah kesehatan reproduksi.
Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi ini
menyebabkan banyak remaja yang berperilaku menyimpang tanpa menyadari akibatnya
terhadap kesehatan reproduksi mereka. Selain itu, pusat atau lembaga advokasi
dan konseling hak-hak dan kesehatan reproduksi bagi remaja juga masih terbatas
jangkauannya dan belum memuaskan mutunya. Pendidikan kesehatan reproduksi
remaja melalui jalur sekolah nampaknya juga belum sepenuhnya berhasil.
Dewasa ini kesehatan menjadi permasalahan yang luar biasa. Permasalahan pembangunan sosial dan budaya yang menjadi perhatian utama
pada kurun waktu antara
lain, masih rendahnya derajat kesehatan dan status gizi
serta tingkat kesejahteraan sosial masyarakat. Hal menyebabkan kami terdorong
untuk mengambil materi pancasila sebagai paradigma pembangunan dalam aspek
sosial budaya dalam bidang kesehatan. Oleh karenanya kami mengharapkan makalah
ini dapat bermanfaat bagi semua.
B.
Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas
dalam penulisan makalah ini adalah :
Bagaimana pembangunan social budaya dalam bidang kesehatan ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan daripada penulisan makalah ini adalah :
Mengetahui rumus pembangunan sosial budaya dalam bidang kesehatan.
D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, khususnya kepada siswa untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pengembangan sosial budaya dalam bidang
kesehatan.
E. Metode Pengumpulan
Data
Data penulisan makalah ini diperoleh dengan mencari data dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial
1.1 Kesehatan
dan Gizi Masyarakat
Derajat kesehatan
antara lain dapat diamati dari beberapa indikator seperti angka harapan hidup
(AHH), angka kematian bayi (AKB), angka kematian balita (AKABA) dan angka
kematian ibu (AKI) waktu melahirkan. Berdasarkan data survai terakhir yang
tersedia, AHH waktu lahir penduduk Indonesia tercatat 65,5 tahun (Inkesra,
1999). Rendahnya AHH tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya AKB, yaitu
sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup (Inkesra, 1999), dan AKABA tercatat 63 per
1000 kelahiran hidup (Susenas, 1999). Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) masih
memprihatinkan, yaitu 373 per 100.000 kelahiran hidup (SKRT, 1995).
Status gizi
masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat masalah gizi utama, yaitu:
kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium
(GAKY), dan kurang vitamin A (KVA). Kelompok umur yang paling rawan menderita
gizi kurang adalah 6 - 23 bulan.
Prevalensi KEP pada
anak balita pada 1998 tercatat sekitar 33,4 persen. Sementara itu, prevalensi
gizi buruk pada anak balita tercatat 8,1 persen pada tahun 1999. Anemia gizi besi pada ibu hamil pada tahun
1995 tercatat 50,9 persen (SKRT, 1995). Tingginya prevalensi anemia gizi besi
pada ibu hamil memberikan kontribusi terhadap masih tingginya AKI.
Prevalensi GAKY yang
diukur dengan Total Goiter Rate (TGR)
menunjukkan penurunan cukup tajam dari 27,7 persen pada tahun 1990 menjadi 9,8
persen pada tahun 1998. Kebutaan karena KVA sudah tidak merupakan masalah
kesehatan masyarakat lagi. Namun masih rendahnya kadar vitamin A dalam darah
anak balita saat ini berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit infeksi terutama campak dan diare. Selain itu KVA pada ibu
hamil dan balita cenderung meningkat.
Angka kesakitan
beberapa penyakit menular cenderung meningkat, seperti penyakit malaria,
tuberculosis (TB), demam berdarah dengue (DBD) dan HIV/AIDS. Jumlah penderita
baru penyakit TB setiap tahunnya sekitar 583 ribu orang dan yang meninggal
sekitar 140 ribu penderita. Walaupun berbagai upaya penanggulangan penyakit TB
sudah dilakukan tapi hasilnya belum memuaskan. Kasus HIV/AIDS terus menunjukkan
peningkatan sejak pertama kali ditemukan (1987) dan pada tahun 2001 (Juni)
kasus HIV positif secara kumulatif tercatat sekitar 1.572 penderita dan AIDS
positif mencapai 578 penderita. Selain itu, Indonesia perlu mewaspadai
timbulnya atau masuknya penyakit-penyakit baru yang berpotensi wabah dan
menimbulkan korban seperti Ebola dan radang otak. Beberapa penyakit degeneratif
dan penyakit tidak menular yang berkaitan dengan perubahan gaya hidup juga
memperlihatkan kecenderungan meningkat. Saat ini angka kesakitan dan kematian
yang disebabkan berbagai penyakit berbasis lingkungan seperti infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), diare, penyakit kulit dan kecacingan juga masih tinggi.
1.2 Kesejahteraan Sosial
Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab
timbulnya berbagai masalah kesejahteraan sosial yang tercermin dalam bentuk
ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar, keterlantaran, kecacatan dan
ketunasosialan. Jumlah penduduk miskin termasuk yang sangat miskin pada tahun
1999 tercatat sebanyak 37,5 juta jiwa atau 18,17 persen dari jumlah penduduk
Indonesia. Masalah lain yang terkait dengan kemiskinan adalah keterpencilan dan
keterasingan secara geografis dan sosial budaya, yang dialami oleh sekitar 1,1
juta penduduk Komunitas Adat Terpencil (KAT). KAT tersebut dikhawatirkan akan
semakin tertinggal sebagai akibat perubahan sosial yang terjadi di luar
komunitasnya. Masalah kesejahteraan sosial lainnya yang menonjol adalah
keterlantaran dan kecacatan. Berdasarkan hasil Susenas 2000, jumlah anak
terlantar dilaporkan sekitar 3,2 juta, sedangkan jumlah lanjut usia terlantar
tercatat sekitar 3,3 juta jiwa. Susenas tahun 2000 juga memperlihatkan bahwa
masih terdapat sekitar 1,5 juta penduduk Indonesia yang mengalami kecacatan.
Pencacahan
anak jalanan yang dilakukan pada tahun 1998 di 12 kota besar mengungkapkan
bahwa dari sekitar 40 ribu anak jalanan, 48 persen diantaranya adalah anak-anak
yang baru turun ke jalan mulai tahun 1998. Sebagian besar anak-anak bekerja di
jalan adalah untuk menambah pendapatan keluarga dan menambah biaya sekolah. Hal
ini menunjukkan bahwa alasan ekonomi keluarga merupakan faktor pendorong utama
semakin banyaknya anak-anak yang bekerja di jalan. Sementara itu, perlindungan
khusus untuk anak terutama anak jalanan, anak yang diperlakukan salah, dan
pekerja anak agar hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang belum dapat
sepenuhnya terpenuhi. Masalah lain yang
dihadapi dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah dampak krisis
mutidimensional terhadap menurunnya
kemampuan organisasi sosial (Orsos) dalam menyelenggarakan pelayanan
sosial.
Masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba juga
menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Selain mencakup masalah medis,
penderita HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba seringkali mengalami perlakuan diskriminatif
dari keluarga maupun lingkungannya. Pelayanan sosial dalam bentuk perlindungan
khusus bagi mereka agar tetap dapat memperoleh hak dan melaksanakan
kewajibannya sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat sesuai harkat
dan martabatnya juga belum sepenuhnya tersedia.
Dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa Indonesia
memiliki keanekaragaman suku bangsa, etnis, agama dan bahasa. Rentannya
interaksi sosial antaretnis, adanya kesenjangan sosial, kesenjangan pembangunan
antarwilayah, rawannya situasi politik dan keamanan, serta kondisi masyarakat
yang mengalami kemiskinan dapat memicu terjadinya kerawanan sosial dan
disintegrasi bangsa.
Selanjutnya,
kondisi sosial ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan pada saat ini, dan
diperparah dengan masalah bencana alam dan kerusuhan yang terjadi di berbagai
daerah mengakibatkan sebagian penduduk terpaksa mengungsi ke daerah yang lebih aman. Dengan jumlah pengungsi yang
sangat besar dan tersebar di berbagai lokasi, penanganan bagi mereka agar tetap
dapat terjaga kelangsungan hidupnya menjadi beban berat baik bagi pemerintah
maupun masyarakat.
1.3 Kependudukan
Permasalahan
pembangunan kependudukan yang perlu mendapat perhatian adalah jumlah penduduk
yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang masih relatif tinggi dan
persebarannya yang tidak merata, dan kualitasnya masih relatif rendah. Dewasa
ini kualitas penduduk Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara
Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Thailand. Berdasarkan Human Development Report 2001, Indonesia
menempati urutan ke 102, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing
menempati urutan ke 56 dan ke 66. Kualitas penduduk tersebut juga tergambar
dari angka harapan hidup waktu melahirkan (AHH) penduduk Indonesia yang relatif
rendah yaitu 65,5 tahun (Inkesra, 1999), sedangkan Malaysia dan Thailand
tercatat masing-masing 72,0 tahun dan 68,8 tahun. Rendahnya angka harapan hidup
tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya angka kematian bayi dan angka
kematian ibu melahirkan.
Dalam
dimensi kuantitas, jumlah penduduk Indonesia relatif telah dapat dikendalikan
pertumbuhannya menjadi 1,35 persen per tahun pada periode 1990-2000 sehingga
jumlah penduduk pada Sensus 2000 diperkirakan mencapai 203,4 juta orang,
terdiri dari 101,8 juta perempuan dan 101,6 juta laki-laki. Namun demikian,
mengingat jumlah penduduk Indonesia saat ini masih besar secara absolut, maka
pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya juga masih besar. Salah satu
penyebab masih cukup tingginya laju pertumbuhan penduduk adalah masih relatif
tingginya angka kelahiran total (TFR). Angka kelahiran total (TFR) Indonesia
pada tahun 2000 diperkirakan 2,5 per perempuan, dan cukup bervariasi baik
antardaerah maupun antarpropinsi.
Permasalahan
lain adalah persebaran penduduk yang tidak merata. Sebagian besar penduduk
yaitu 59 persen (Sensus 2000) terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal ini berakibat
pada kepadatan penduduk yang sangat tinggi di beberapa propinsi seperti DKI
Jakarta dengan 12,6 ribu penduduk per km2, sedangkan Irian Jaya
hanya 5 jiwa per km2. Timpangnya persebaran dan kurang
terarahnya mobilitas penduduk terkait
erat dengan tidak seimbangnya persebaran sumber daya hasil pembangunan
antarwilayah. Munculnya berbagai konflik antaretnik, antaragama dan berbagai
masalah pengungsian juga telah menimbulkan potensi kerawanan yang menambah
permasalahan di dalam mengatasi penataan persebaran penduduk.
Masalah administrasi kependudukan diindikasikan oleh masih
banyaknya penduduk yang belum mempunyai dokumen kependudukan (lahir, kawin,
cerai) dan belum efektifnya lembaga
penyelenggaraan administrasi kependudukan. Di samping itu, peraturan
perundang-undangan administrasi kependudukan termasuk hak-hak sipil belum
terpenuhi. Selain itu, kualitas dan cakupan data penduduk hasil registrasi
masih belum memadai, sehingga berpengaruh kepada mutu perencanaan dan kebijakan
pembangunan kependudukan.
1.4 Pemberdayaan Keluarga dan Keluarga
Berencana
Permasalahan
lain dalam pembangunan sosial dan budaya adalah sebagian keluarga terutama yang
tergolong Pra-Keluarga Sejahtera (Pra-KS) dan Sejahtera I (KS I), belum berdaya
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pendidikan dan kesehatan termasuk
keluarga berencana (KB). Pada tahun 2000, jumlah keluarga Pra-KS dan KS I,
yaitu keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya masih sekitar 24,6 juta keluarga.
Sementara
itu, aspek kesehatan reproduksi remaja yang merupakan salah satu tiang dalam
pewujudan keluarga kecil yang berkualitas juga masih tertinggal. Survai
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan meskipun median usia
kawin pertama secara nasional adalah 18,6 tahun, median usia kawin pertama di
perdesaan masih relatif muda yaitu 17,9 tahun. Sebagian masyarakat dan keluarga
termasuk orang tua dan remaja sendiri juga belum sepenuhnya mempersiapkan
anggota keluarga yang berusia remaja dalam kehidupan berkeluarga dan perilaku
reproduksi yang bertanggung jawab. Banyak remaja yang masih kurang memahami
atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang masalah kesehatan reproduksi.
Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi ini
menyebabkan banyak remaja yang berperilaku menyimpang tanpa menyadari akibatnya
terhadap kesehatan reproduksi mereka. Selain itu, pusat atau lembaga advokasi
dan konseling hak-hak dan kesehatan reproduksi bagi remaja juga masih terbatas
jangkauannya dan belum memuaskan mutunya. Pendidikan kesehatan reproduksi
remaja melalui jalur sekolah nampaknya juga belum sepenuhnya berhasil.
Tingkat
kelahiran yang relatif tinggi merupakan salah satu beban dalam pembangunan
sosial dan budaya. Tingkat kelahiran yang relatif tinggi ini mengakibatkan laju
pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan jumlah anggota keluarga yang
relatif besar. Tingginya angka kelahiran dewasa ini berkaitan dengan
penyelenggaraan program Keluarga Berencana (KB) yang belum sepenuhnya
berkualitas dalam memenuhi hak-hak dan kesehatan reproduksi masyarakat.
Pendekatan program KB yang telah diarahkan pada pemenuhan hak-hak dan kesehatan
reproduksi, dalam pelaksanaannya masih dijumpai beberapa pelayanan KB yang
mencerminkan pendekatan pemenuhan target akseptor. Pendekatan target akseptor
mengakibatkan proses dan kualitas penyampaian komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE), serta pelayanan KB lebih ditujukan untuk mencapai target akseptor KB
melebihi perhatian terhadap kecocokan cara KB dan kepuasan akseptor KB.
Kualitas program KB yang belum sepenuhnya memuaskan klien mengakibatkan
pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi termasuk KB yang merupakan dasar
terwujudnya keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera belum dapat dirasakan
oleh sebagian masyarakat dan keluarga. Hal ini diungkapkan oleh data SDKI 1997
yang menunjukkan bahwa baru 57,4 persen pasangan usia subur (PUS) yang ingin
ber-KB dapat terpenuhi permintaannya, dan sekitar 9,21 persen PUS yang sebenarnya tidak ingin
anak atau menunda kehamilannya, tidak memakai kontrasepsi (unmet need). Permasalahan lainnya dalam program KB adalah
partisipasi laki-laki dalam ber-KB yang masih sangat rendah yaitu sekitar 3
persen (SDKI 1997). Hal ini selain dikarenakan keterbatasan macam dan jenis
alat kontrasepsi laki-laki, antara lain juga disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan laki-laki di bidang hak-hak dan kesehatan reproduksi.
Kelembagaan dan jaringan pelayanan KB juga belum sepenuhnya
berkualitas dan mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini antara lain
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan sumber daya program KB. Peran masyarakat
dan pihak di luar Pemerintah juga masih sangat terbatas, walaupun tokoh agama,
organisasi profesi dan Lembaga Swadaya dan Organisasi Masyarakat (LSOM)
terbukti sangat mempengaruhi keberhasilan program KB di beberapa daerah. Pada
tahun 1998/99 jumlah lembaga pelayanan KB non-pemerintah masih relatif rendah
yaitu berkisar 44.550 yang melayani sekitar 65 persen PUS peserta KB Aktif.
Sementara itu, kemitraan pemerintah dengan masyarakat terutama PUS dan sektor
di luar pemerintah dalam penyelenggaraan KB dan kesehatan reproduksi belum
sepenuhnya dapat diwujudkan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas kami dapat menyimpulkan bahwa, tingkat kesehatan masyarakat
indoneia perlu peningkatan secara keseluruhan. Karena kesehatan rakyat
indinesia merupakan salah satu bentuk pemakmuran masyarakt Indonesia. Sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia dan mewujudkan pancasila sebagai paradigm
pembangunan dalam aspek sosial budaya dalam bidang kesehatan masyarakat .
B.
SARAN
Saran
kami kepada seluruh badan pemerintahan:
1.
Lebih
memperhatikan dan meningkatkan pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan.
2.
Memberikan
perlakuan yang sama dewi mewujudkan keadilan tanpa pembedaan pada seluruh
elemen masyarakat.
3.
Memberikan
pelayanan yang terbaik bagi rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar